Oleh : Boy Hardi Harjadinata
Dalam goresan sejarah Islam, terukirlah cerita seorang wanita mulia, Fatimah Az-Zahra. Ia bukan hanya anak kesayangan Rasulullah SAW, tetapi juga pancaran kesederhanaan dan kemuliaan di tengah liku-liku kehidupan. Lahir pada tahun ke-5 setelah kenabian atau 606 M, Fatimah mengecap bayang dakwah berdarah di Makkah, tumbuh sebagai perempuan tegar dalam bayang-bayang keterbatasan.
Dalam hadis, Nabi Muhammad SAW menyatakan betapa Fatimah adalah sebagian darinya. Dengan julukan Az-Zahra, Kaniz, At-Thahirah, Ummul Aimmah, Sayyidah, hingga Nisa’ Al-Alamin, Fatimah adalah perwujudan kesucian dan ketegaran. Meskipun menjadi anak kesayangan, Fatimah tak pernah merasakan kemewahan hidup.
Pada usia 15 tahun, ia menikah dengan sepupunya Ali bin Abi Thalib. Pernikahan sederhana dari pemuda yang harus menjual perisainya untuk membayar mahar. Namun, kehidupan ekonomi mereka tak kunjung membaik. Dalam keluh kesahnya, Fatimah mendatangi Nabi Muhammad SAW, tetapi terdiam oleh rasa hormat yang besar pada ayahnya. Suaminya, Ali, menyarankan agar Fatimah menemui Nabi untuk meminta bantuan. Namun, yang diterima adalah nasihat agar bersabar, dan Nabi mengajarkan doa untuk kelapangan hidup.
Dalam peran ibu, Fatimah menjadi sosok teladan. Dia tidak hanya mendidik ketiga putranya, Hassan, Husain, dan Muhassin, tetapi juga putri-putrinya, Zaynab, Ummi Kultsum, dan Ruqayyah. Keteguhan hati dan ketabahan Fatimah tercermin saat ia pernah menggadaikan kerudungnya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Betapa ia rela berkorban demi keberlanjutan hidup keluarganya.
Ketika wafatnya Nabi Muhammad, Fatimah terus menunjukkan ketabahan dan kesabaran. Ia menjadi tempat curahan hati bagi suaminya, Ali, dan anak-anaknya, terutama Hassan dan Husain. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW memberikan kabar gembira kepada Fatimah mengenai kepulangannya ke sisi-Nya. Ini membuat Fatimah bersedih, dan Nabi memberikan kabar gembira kedua bahwa ia akan menjadi yang pertama menyusul ayahnya ke surga. Sebelum wafat, ia memberikan pesan kepada suaminya, Ali, bahwa hanya dia yang boleh menyentuh jenazahnya. Fatimah wafat pada usia yang sangat muda, 27 tahun, di Madinah, pada 3 Ramadan 11 H atau 5 Agustus 632 M.
Ali bin Abi Thalib, dengan penuh kesedihan, memandikan jenazah Fatimah sesuai dengan wasiat istrinya. Bersama putra-putranya, Hasan dan Husain, mereka menguburkan Fatimah di pemakaman Baqi yang berseberangan dengan Masjid Nabawi, tempat Nabi Muhammad dikebumikan.
Dalam mengenang dan menghidupkan kembali nilai-nilai yang diperjuangkan oleh Fatimah, umat Islam dihimbau untuk mengambil pelajaran dan inspirasi dari kisah hidupnya. Kesederhanaan, ketabahan, dan kesetiaan kepada nilai-nilai Islam adalah warisan berharga yang ditinggalkan oleh Fatimah Az-Zahra. Ia adalah cahaya dalam kegelapan, teladan dalam kehidupan, dan inspirasi bagi setiap individu yang mengharapkan keberkahan dalam hidupnya.
Author
Rizqi Astera Ayuningtyas