Indonesia mengalami deflasi dalam beberapa bulan terakhir yang begitu menarik perhatian. Yang menjadi penyebab deflasi berturut-turut tersebut yaitu penurunan harga sejumlah komoditas pangan dan suplai yang berlimpah. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2024 Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami penurunan dari 106,28 (Juni 2024) menjadi 106,09. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami deflasi 0,18% secara bulanan. Angka tersebut merupakan yang terdalam apabila dibandingkan dengan dua bulan sebelumnya. Pada Mei dan Juni 2024, juga terjadi deflasi secara berturut-turut sebesar 0,03% dan 0,08%.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, 2024, pada Juli 2024, tingkat deflasi kelompok pengeluaran minuman, makanan dan tembakau terdalam sejak November 2022, yakni 0,97% dengan kontribusi sebesar 0,28%.
Menurut Bank Indonesia, 1999, kejadian deflasi di Indonesia bukan merupakan fenomena baru, dalam beberapa dekade terakhir juga sudah terjadi periode deflasi yang signifikan. Pada tahun 1999, sesudah krisis finansial Asia, Indonesia mengalami deflasi sebesar 2,01% sebagai akibat dari depresiasi nilai tukar dan penurunan harga beberapa barang.
Badan Pusat Statistik, 2009 juga menyatakan periode deflasi lainnya terjadi di tahun 2008-2009 selama krisis finansial global. Inflasi negatif terjadi pada beberapa bulan sebab penurunan harga minyak dunia dan permintaan domestik yang lemah.
Dikutip dari Kompas.id Widi, 2024. Kondisi deflasi pada pertengahan tahun 2024 ini memerlihatkan pola serupa, di mana penurunan permintaan agregat menjadi faktor utama. Akan tetapi, ada perbedaan signifikan dalam penyebab dan dampaknya. Di tahun 2024, deflasi terjadi merupakan konteks pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19 dan ketidakpastian global karena konflik geopolitik dan perubahan iklim yang berpengaruh terhadap supply chain global.
Penurunan harga komoditas menjadi penyebab deflasi yang terjadi berturut-turut di pertengahan 2024. Menurut data BPS 2024, komoditas yang dominan memberikan kontribusi deflasi (month to month/m-to-m) pada Juli 2024 yakni bawang merah (0,11%); cabai merah (0,09%); tomat (0,07%); daging ayam ras (0,04%); bawang putih (0,02%); ikan segar, telur ayam ras, kol putih/kubis, sawi hijau, kacang panjang, ketimun, jeruk, dan buncis masing-masing 0,01%.
Walaupun harga yang lebih rendah bisa saja menguntungkan konsumen. Akan tetapi deflasi yang berturut-turut dan berkepanjangan dapat menjadi tanda terdapatnya masalah ekonomi yang lebih besar. Seperti penurunan pendapatan produsen dan penurunan daya beli masyarakat.
Dilansir dari CNN, Nadeak, F.F. (2024, Juli 3) dalam situasi deflasi, walaupun harga barang dan jasa menurun, daya beli masyarakat tidak selalu meningkat secara signifikan sebab faktor lain seperti ketidakpastian ekonomi dan stagnasi pendapatan yang berpengaruh terhadap kepercayaan konsumen. Ketidakstabilan ekonomi yang ditambah dengan buruknya ketidakpastian global serta ketidakmampuan pemerintah dalam merangsang pertumbuhan ekonomi lebih lanjut juga bisa memperburuk kondisi tersebut dengan menghambat pemulihan daya beli masyarakat.
Apabila ditinjau dari sisi makro penurunan harga yang disebabkan oleh turunnya permintaan merupakan sinyal peringatan untuk pemerintah sebab menunjukkan konsumsi rumah tangga ikut mengalami penurunan. Hal tersebut mampu menimbulkan potensi turunnya kontribusi konsumen rumah tangga kepada pertumbuhan ekonomi. Perlu diingat konsumsi rumah tangga adalah kontributor utama pertumbuhan ekonomi.
Author
Ridho Nur Hidayatulloh